El Nino dan La Nina
sesungguhnya adalah kondisi abnormal iklim pada area Samudra
Pasifik yang terletak pada daerah ekuatorial. Kedua gejala alam
ini mempunyai kondisi anomali yang berbeda, El Nino dicirikan
dengan naiknya suhu permukaan laut (warm phase) sedangkan
La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya yaitu turunnya suhu
permukaan air laut (cold phase) pada area katulistiwa
Samudra Pasifik.
El Nino dan La Nina sendiri baru dimasukkan kedalam istilah
bahasa ilmiah pada tahun 1997, dalam bahasa asli (Amerika
Selatan) La Nina berarti si gadis kecil sedangkan El Nino
berarti si buyung kecil. Sesungguhnya fenomena ini sudah
berjalan dalam waktu yang panjang, tetapi baru dapat
diidentifikasi dalam beberapa tahun terakhir. Selama kurun 78
tahun telah terjadi 23 kali gejala El Nino dan 15 kali La Nina.
El Nino sendiri terjadi dengan selang antara 3 sampai 7 tahun.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia
Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah
Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat
tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi
geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak
seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah
hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan
meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya.
Disektor irigasi, hasil kajian menyebutkan bahwa kondisi beberapa DAS
di Indonesia cukup kritis dan jumlahnya semakin banyak, khususnya di
Jawa. Berdasrkan analisis terhadap data debit minimum dan maksimum dari
52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke
terlihat bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk
menimbulkan masalah kekeringan meningkat. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990-
banyak yang sudah mengalami degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim
dalam bentuk penurunan atau peningkatan hujan jauh dari normal akan
langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam dari debit
minimum atau debit maksimum (kekeringan hidrologis).
Disektor perikanan dan kelautan, hasil tangkapan ikan pada
tahun-tahun el nino juga dilaporkan menurun. Hal ini dikarenakan pada
kondisi tersebut ketersediaan pakan bagi ikan (plankton) juga berkurang.
Selain itu banyak terumbu karang yang mengalami keputihan (coral
bleaching) akibat terbatasnya alga yang merupakan sumber makanan dari
terumbu karang karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu
air laut. Memanasnya air laut juga akan menggangu kehidupan jenis ikan
tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu laut. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya migrasi ikan ke perairan lain yang lebih dingin.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sri Woro
Budiati Harijono, mengemukakan, dampak El Nino akan dirasakan signifikan
di Indonesia hanya dengan satu syarat, yakni jika suhu permukaan laut
Indonesia yang mendingin. Sesuai dengan teori hukum fisika dasar, angin
berembus dari daerah yang bertekanan udara tinggi (lebih dingin) ke
daerah bertekanan udara rendah (lebih panas).
Karena suhu permukaan laut di Pasifik menghangat atau naik yang
berarti bertekanan rendah, maka jika daerah-daerah di sekitar Pasifik
(termasuk Indonesia) memiliki suhu muka laut yang dingin, maka angin
termasuk uap air dari Indonesia akan ditarik ke Pasifik. Akibatnya tentu
saja bisa diketahui, yakni terjadinya musim kemarau yang sangat kering.
Namun, dampak ini tidak akan berlaku, jika suhu permukaan laut
Indonesia juga menghangat. “Jadi kalau dua-duanya menghangat, berarti
tidak terjadi perbedaan tekanan udara. Jadi, meskipun El Nino kuat,
tidak akan berpengaruh signifikan untuk Indonesia,” katanya.
BMKG memprediksi periodidasi kekuatan El Nino. Untuk bulan Juli
hingga Agustus 2009, El Nino masuk kategori lemah, bulan September,
Oktober, dan November 2009 kategori moderate (sedang), dan Desember 2009
sampai Januari 2010, kekuatan El Nino akan mencapai puncaknya dengan
kategori kuat.
La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina menurut bahasa
penduduk lokal berarti bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai ketika El
Nino mulai melemah, dan air laut yang panas di pantai Peru – ekuador
kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali
seperti semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi
cuaca menjadi normal kembali. Dengan kata lain, La Nina adalah kondisi
cuaca yang normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino.
Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya akan
sampai ke wilayah Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia akan berubah
menjadi daerah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar
Pasifik Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak menuju Indonesia. Angin
tersebut banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan lebat.
Penduduk Indonesia diminta untuk waspada jika terjadi
La Nina karena
mungkin bisa terjadi banjir. Sejak kemerdekaan di Indonesia, telah
terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun 1950, 1955, 1970, 1973, 1975, 1988,
1995 dan 1999.
Ketika La Nina kolam panas (bagian laut yang suhunya tinggi) bergerak
masuk ke arah Indonesia bagian timur dan demikian juga anginya
berhembus lebih kuat ke arah Indonesia sehingga laut di Indonesia timur
meningkat suhunya, hal ini diikuti dengan penguapan yang lebih banyak
dan terjadi konveksi kuat yang membentuk awan hujan (kumulus), sehingga
daerah Indonesia khususnya bagian timur akan curah hujanya di atas
normal.
Sebaliknya ketika El Nino kolam panasnya bergerak menjauhi Indonesia
sehingga yang banyak hujan ialah di laut Pasifik, sedangkan daerah
Indonesia, khususnya bagian timur curah hujanya berkurang. Indonesia
mengalami kekeringan. Proses El Nino dan La Nina ini dapat diperlihatkan
ada hubunganya dengan aktivitas matahari dan sinar kosmik.
Fenomena La Nina ditandai dengan menurunnya SPL (suhu permukaan laut)
di zona Nino 3.4 (anomali negatif) sehingga sering juga disebut sebagai
fase dingin. Karena sifatnya yang dingin ini, kedatangannya juga dapat
menimbulkan petaka di berbagai kawasan khatulistiwa, termasuk Indonesia.
Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat
menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia.
Jadi, dua “lakon” di panggung Samudera Pasifik ini sama-sama menakutkan.
Yang satu menyebar petaka kekeringan, sementara yang lain memberi
ancaman banjir.
Inilah perbedaan kondisi saat La Nina dan saat kondisi Normal
1. Kondisi La Nina
Pada tahun La Nina jumlah air laut bertemperatur rendah yang mengalir
di sepanjang Pantai Selatan Amerika dan Pasifik Timur meningkat.
Wilayah Pasifik Timur dan Tengah menjadi lebih dingin dari Pasifik
Barat.
Ketika terjadi La Nina :
- Angin passat Timuran menguat, sehingga massa udara dingin meluas hingga Samudera Pasifik bagian tengah dan Timur.
- Ini menyebabkan perubahan pola cuaca. Daerah potensi hujan meliputi wilayah Perairan Barat.
2. Kondisi Normal
Kondisi Suhu Muka Laut pada Kondisi Normal
Pada tahun-tahun normal, Suhu Muka Laut (SST) di sebelah Utara dan
Timur Laut Australia ≥28°C sedangkan SST di Samudra Pasifik sekitar
Amerika Selatan ±20°C (SST di Pasifik Barat 8° – 10°C lebih hangat
dibandingkan dengan Pasifik Timur).
- Angin di wilayah Samudra Pasifik Ekuatorial (Angin passat
Timuran) dan air laut di bawahnya mengalir dari Timur ke Barat.
Arah aliran timuran air ini sedikit berbelok ke Utara pada Bumi
Belahan Utara dan ke Selatan pada Bumi Belahan Selatan.
- Daerah yang berpotensi tumbuh awan-awan hujan adalah di Samudra Pasifik Barat, wilayah Indonesia dan Australia Utara.
Tidak hanya dampak negatif saja yang ada di La Nina terhadap Indonesia, tetapi juga ada dampak positifnya.
Dampak positif
Sementara itu, Kepala Ekspedisi Mirai, Dr Keisuke Mizuno,mengatakan, terjadi penyimpangan cuaca dapat memberi dampak yang positif bagi sektor perikanan. Karena pada masa itu terjadi migrasi ikan tuna ke wilayah Indonesia. Saat La Nina suhu muka laut di barat Samudera Pasifik hingga Indonesia menghangat. Kondisi ini mendorong ikan tuna dari Pasifik timur yang dingin bergerak masuk ke kawasan timur Indonesia.