Kejadian
pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang
memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar
sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan
demikian pemanasan global yang terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca dan
gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca (GRK) dan untuk
memudahkan perhitungan dalam penurunan emisi, semua gas dinyatakan dalam
ekivalen terhadap CO2.
Gambar 2. Peningkatan konsentrasi 3 gas utama penyusun GRK CO2, CH4, N2O di atmosfer (IPCC, 2007)
PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL
Pada
tahun 2007 Indonesia didaulat sebagai salah satu Negara penghasil emisi
GRK terbesar di dunia, terutama berasal dari kegiatan alih guna lahan
hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi lahan pertanian (Tabel 2).
Negara emitor GRK terbesar adalah USA dan China, jumlah GRK yang
diemisikan dua kali lipat lebih besar dari emisi asal Indonesia.
Bedanya, emisi GRK dari kedua negara industri tersebut berasal dari
penggunaan bahan bakar fossil dan industri.
Agus
dan Van Noordwijk (2007) melaporkan bahwa pembakaran hutan alami pada
lahan gambut menyebabkan pelepasan CO2 sebanyak 734 ton ha-1 yang
berasal dari C yang tersimpan di vegetasi sebasar 200 ton ha-1. Tetapi
jumlah tersebut mungkin masih lebih rendah dari jumlah CO2 yang
diemisikan sebenarnya, karena selama pembakaran hutan lapisan atas
gambut juga terbakar dan melepaskan CO2. Seandainya gambut yang terbakar
setebal 10 cm, maka akan terjadi penambahan emisi CO2 sebesar 220 ton
ha-1 karena tanah gambut mengandung C sekitar 6 ton ha-1 cm-1. Setelah
pembakaran hutan, biasanya lahan dialih-fungsikan menjadi perkebunan
kelapa sawit, HTI atau tanaman semusim. Cara pengelolaan paska
pembakaran (terutama berhubungan dengan pengeringan dan pengolahan
tanah) sangat mempengaruhi besarnya emisi CO2 berikutnya. Pembuatan
saluran drainase sedalam 80 cm pada kebun sawit, diestimasi akan
mengemisikan CO2 sebanyak 73 ton ha-1 th-1. Jadi berarti dalam satu
siklus tanam sawit (25 tahun) akan mengemisikan CO2 sebanyak 1820 ton
ha-1. Suatu jumlah pelepasan yang sangat besar, yang mungkin terlewatkan
dalam penghitungan neraca C di skala global saat ini.
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DAN SIAPA YANG MENDERITA?
Dampak
dari pemanasan global terhadap lingkungan dan kehidupan, dapat
dibedakan menurut tingkat kenaikan suhu dan rentang waktu (Gambar3).
Bila suhu bumi meningkat hingga 3oC, diramalkan sebagian belahan bumi
akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es
di daerah kutub, misalnya Bangladesh akan tenggelam. Bencana tzunami
akan terjadi lagi di beberapa tempat, kekeringan dan berkurangnya
beberapa mata air, kelaparan dimana-mana. Akibatnya banyak penduduk dari
daerah-daerah yang terkena bencana akan mengungsi ke tempat lain.
Peningkatan jumlah pengungsi di suatu tempat akan berdampak terhadap
stabilitas sosial dan ekonomi, kejadian tersebut sudah sering kita
dengar terjadi di Indonesia paska bencana.
(http://meylya.files.wordpress.com/ 2008/10/pemanasan.jpg)
Perubahan
yang lain adalah meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim,
serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Perubahanperubahan tersebut
akan berpengaruh terhadap hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak
gunung, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna.
Akibat perubahan global tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah
dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, pengembangan pendidikan dan
sebagainya. Guna menghindari terjadinya bencana besar yang memakan
banyak korban, para ilmuan telah bekerja keras membuat beberapa
prakiraan mengenai dampak pemanasan global.
Gambar
3. Skema dampak pemanasan global terhadap kehidupan dan lingkungan di
dunia dan konsekuensinya terhadap stabilitas pangan, sosial dan budaya
akibat banyaknya bencana yang diramalkan akan terjadi pada seratus tahun
mendatang.
(http://learningfundamentals.com.au/wpcontent/uploads/combating-global-warming-map.jpg)
1. Tinggi muka laut
Peningkatan
suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut,
sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga
akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub
terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga
akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi
muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad
ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan
terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm (Gambar 4).
Gambar 4. Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 % daerah Belanda, 17.5%
daerah Bangladesh dan banyak pulau-pulau. Dengan meningkatnya permukaan
air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga
akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir
akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit
peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai,
dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Negara-negara kaya
akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah
pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan
evakuasi penduduk dari daerah pantai.
2. Mencairnya es di kutub utara
Para ilmuan juga memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere)
akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya,
gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil, akan lebih
sedikit es yang terapung di perairan Utara sehingga populasi flora dan
fauna semakin terbatas. Pada daerah-daerah pegunungan subtropis, bagian
yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair
dan musim tanam akan lebih panjang di beberapa area.
3. Jumlah curah hujan
Meningkatnya
suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap kelembaban udara. Pada
daerah-daerah beriklim hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih
banyak air yang menguap dari lautan, sehingga akan meningkatkan curah
hujan, rata-rata, sekitar 1 % untuk setiap 1oC F pemanasan. Dalam
seratus tahun terakhir ini curah hujan di seluruh dunia telah meningkat
sebesar 1 %. Intensitas curah hujan telah meningkat akhir-akhir ini bila
dibandingkan dengan waktu 1950 -1999. Para ahli telah memperkirakan
perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara (Lal et al.,
2001 dalam Santoso dan Forner, 2006) bahwa presipitasi di Asia Tenggara
akan meningkat 3.6% di tahun 2020-an dan 7.1% di tahun 2050, serta
11.3% di tahun 2080-an.
Dengan
menggunakan model simulasi (IS92a pakai dan tanpa aerosol) diperkirakan
iklim di Asia Tenggara akan menjadi lebih panas dan lebih basah dari
pada kondisi yang kita miliki saat ini (Gambar 5). Dengan berpeluang
besar untuk terjadi banjir dan longsor di musim penghujan dan kekeringan
di musim kemarau. Kajian dampak (impact study) perubahan musim terhadap
frekuensi kejadian kondisi ekstrim per tahunnya mungkin lebih penting
dari pada meningkatnya jumlah curah hujan yang terjadi. Pada Gambar 6
dapat dilihat hasil prediksi 2 model (HadCM3 dan GISS_ER) akan perubahan
musim di Indonesia. Prediksi variabilitas iklim dan ramalan musim
tersebut akan sangat bermanfaat di masa yang akan datang untuk
memberikan peringatan dini kepada masyarakat akan datangnya bencana,
agar tingkat kerugian dan jumlah korban bisa diminimalkan.
Masyarakat
seluruh dunia akan terkena dampak perubahan iklim. Tetapi negara dan
masyarakat miskinlah yang paling rawan terkena dampaknya. Negara
kepulauan kecil dan negara berkembang yang merupakan penyumbang terkecil
pada emisi GRK, justru akan mengalami dampak paling besar dan paling
tidak siap menghadapi perubahan iklim. Sebagai contoh, negara-negara
pulau kecil di Pasifik hanya menyumbangkan 0.06% dari total emisi
seluruh dunia, tetapi akan menjadi korban paling pertama akibat naiknya
permukaan air laut. Demikian pula, masyarakat miskin di pesisir yang
akan menjadi korban terlebih dahulu.
Gambar
6. Perbedaan hasil prediksi perubahan pola sebaran hujan menurut model
HadCM3 dan GISS_ER, namun keduanya memprediksi akan terjadi kondisi
ektrim basah dimusim penghujan dan ekstrim kering di musim kemarau (Dikutip dari: Santoso dan Forner, 2006)
Indonesia,
sebagai salah satu negara tropis akan paling menderita terkena dampak
pemanasan global. Dampak pemanasan global di lapangan ditandai dengan
munculnya bencana alam terutama berkaitan dengan adanya penurunan sumber
daya alam (SDA) baik ditingkat plot, lansekap/nasional dan global, yang
penanganannya memerlukan pemahaman yang mendalam. Penurunan SDA yang
umum dihadapi di tingkat nasional umumnya berhubungan dengan (1) Air
baik kuantitas maupun kualitasnya, (2) Biodiversitas fauna dan flora,
(3) Keindahan lansekap, dan (4) Kualitas udara.
Dampak-dampak
tersebut di atas memang sering dikatakan sebagai ”diperkirakan”, tetapi
perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering, serta
peningkatan bencana sudah mulai kita rasakan sekarang, tidak perlu
menunggu 2030 atau 2050. Kalau peningkatan suhu rata-rata bumi tidak
dibatasi pada 2oC maka dampaknya akan sulit dikelola manusia maupun
alam! Guna meredam penderitaan masyarakat yang berkepanjangan di masa
yang akan datang, maka kebijakan pengelolaan lahan baik kehutanan maupun
pertanian harus bersifat ADAPTASI terhadap iklim baru yang sinergi
dengan upaya MITIGASI terhadap perubahan iklim global. Kegiatan adaptasi
adalah kegiatan yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim
baik secara antisipatif maupun reaktif. Sedangkan kegiatan mitigasi
dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan efek gas rumah kaca
sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Bahasan dalam buku
ini difokuskan kepada upaya INAFE (The Indonesian Network for
Agroforestry Education) dalam mempersiapkan generasi mendatang untuk
dapat beradaptasi dengan kondisi iklim global yang telah berubah,
melalui perbaikan perbaikan strategi pendidikan Agroforestri di
Perguruan Tinggi seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar