Pada beberapa kesempatan, tsunami
disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir, persepsi
ini telah dinyatakan tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas
peneliti, karena gelombang pasang tidak ada hubungannya dengan tsunami.
Persepsi ini dahulu populer karena penampakan tsunami yang menyerupai
gelombang pasang yang tinggi.
Tsunami dan gelombang pasang sama-sama
menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun dalam
kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama,
sehingga memberika kesan seperti gelombang pasang yang sangat tinggi.
Meskipun pengartian yang menyamakan dengan “pasang-surut” meliputi
“kemiripan” atau “memiliki kesamaan karakter” dengan gelombang pasang,
pengertian ini tidak lagi tepat. Tsunami tidak hanya terbatas pada
pelabuhan. Karenanya para geologis dan oseanografis sangat tidak
merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.
Hanya ada beberapa bahasa lokal yang
memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi Peralai
dalam Bahasa Tamil, ië beuna atau alôn buluëk (menurut dialek) dalam
Bahasa Aceh adalah contohnya. Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog
versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti “gelombang”.
Di Pulau Simeulue, daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa
Defayan, smong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong
berarti tsunami.
Penyebab Terjadinya Tsunami
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat
mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini
mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di
pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami tergantung
pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa
mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai,
kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat
merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi gelombang
tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai
pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi
penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk
daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus
meter bahkan bisa beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada
patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah
subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut
serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut
yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak
lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba
sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu.
Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari
atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi
megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
Gempa yang menyebabkan tsunami
- Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 – 30 km)
- Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter
- Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar